Mom-And-Dad-To-Be

“Tunggu deh, kamu kapan terakhir kali dapet?”

Tiba-tiba aja pertanyaan itu terlintas mengingat ini akhir bulan dan biasanya saat ini Ia telah memasuki fase enggak seru buat diajak jalan-jalan.

“Harusnya sih sekarang, tapi kan kamu tau jadwalku enggak selalu teratur…”

Meski terdiam, tapi pikiran kami menuju pada kesimpulan yang sama.

“Gimana kalo pulang dari sini kita beli test pack? Siapa tau…”, Ia tak menyudahi kalimatnya, tapi gua bisa ngeliat senyum tergores di wajahnya. Bila situasinya berbeda, ingin rasanya memanfaatkan momen ini untuk segera menjatuhkan harapannya yang saat ini terbang jauh ke awan untuk lekas kembali ke bumi. Tapi rasanya agak dosa karena perempuan di depan gua ini bukan lagi cuma pacar gua. Akhir Februari kemarin kami telah resmi mengantungi restu kedua orang tua, agama, dan negara untuk mengubah status hubungan kami di Facebook sebagai suami-istri. Sebuah keputusan besar yang sampai hari ini pun masih sulit gua percayai.

“Yaudah, tapi janji dulu sama aku, kalo besok pagi hasilnya enggak sama dengan yang kita kira, kamu jangan keburu mikir yang enggak-enggak.”, balasku dengan tetap berusaha untuk sedikit menjatuhkan harapannya yang tadi udah keburu terbang jauh ke awan untuk turun sebentar ke bumi. Anggukan kecil jadi pertanda bahwa Ia setuju, tapi kalimat mutiara barusan sepertinya enggak manjur untuk menahan pikirannya yang udah terlanjur terbang bebas.

*****

Guncangan pada bahu yang jauh dari mesra membangunkan gua pagi itu.

Jam 7. Hari minggu.

Semenjak Doraemon, Detective Conan, dan Dragon Ball-Z tak lagi tayang di tv, rasanya gua udah enggak punya alasan untuk bangun sepagi ini.

“Aku udah coba test packnya…”, suaranya familiar, tapi siapa… Gua enggak pernah punya pembantu di kamar.

Oh, iya, gua udah tidur bareng istri sekarang.

“Terus gimana?”, balas gua tanpa membuka mata seraya mendekap guling lebih mesra.

Ia tak menjawab. Hanya melemparkan kotak test packnya ke depan muka gua. Gua buka, ada dua garis merah tak terlalu kentara dan bau pesing yang menyengat. Makan apa ini orang semalam.

Biar enggak salah tafsir, gua baca cara baca hasilnya.

1 garis artinya tidak hamil. Oke, berarti kalo 2 garis artinya benar-benar tidak hamil.

Butuh sekotak test pack dengan merk lain sebagai perbandingan hasil dan satu kali konsultasi dengan dokter kandungan pada pagi itu juga untuk meyakinkan gua bahwa Geby memang benar-benar hamil. Kenyataan bahwa kami belum genap satu minggu menikah, bahkan baru 2 hari pulang dari Bali, bikin gua enggak pernah menyangka bahwa semua akan terjadi secepat ini. Semua makin sulit buat dipercaya ketika Dokter bilang untuk 3 bulan ke depan kalo bisa intensitas berhubungannya dikurangi.

“Itu kan kalo bisa, Dok… Bagaimana kalo ternyata kami tidak bisa? Dokter tau kan kalo hakikat manusia itu enggak cuma dibekali akal, tapi juga nafsu, Dok. Sebagai pengantin baru, Nafsu adalah nama tengah kami! Masa iya dokter enggak punya anjuran lain yang lebih mudah buat kami hindari seperti tidak menginjak kotoran sapi atau mungkin tidak makan pizza pake nasi?”, teriak gua dalam hati. Bedak gua belum cukup tebal untuk merasa bahwa situasi ini cocok buat berakting murah khas FTV.

*****

IMG_20160515_105927Mereka yang sedang jatuh cinta rasanya perlu berpikir kembali untuk mengira bahwa hanya waktu mereka yang terasa seperti melayang, karena bagi yang telah menikah, waktu bukan cuma melayang, tapi terbang! (Pak, itu artinya sama… Bodo!).

Udah 4 bulan gua terus mengatakan pada diri gua bahwa gua sanggup untuk menerima Geby dalam keadaan penuh jerawat, ketiak menghitam, dan terus bertambah berat badan. Belum lagi nafsu makannya makin ganas. Dulu, kalo dia nyimpen makanan di kulkas dan gua makan duluan, dia enggak akan masalah. Sekarang, dia bakalan ngedumel dan ngerasa bahwa dunia enggak pernah berlaku adil padanya.

Semua perubahan itu makin sulit buat gua terima karena di saat yang bersamaan gua harus ngeliat Chelsea Olivia yang tengah hamil sebulan lebih tua tetap dengan mukanya yang bersih, ketiak mulus, dan berat badan yang tetap enak untuk enggak cuma dilihat. Bahkan gua juga yakin kalo Chelsea enggak kentut sekeras Geby, yang dentumannya bisa bikin kucing merasa sangat ngeri untuk mampir ke rumah lagi. Sungguh aku sangat benci padamu, Glenn Alinskie.

Minggu ini kami telah mempersiapkan pengajian 4 bulanan usia kandungan Geby. Enggak muluk-muluk, Gua, yang sekarang punya banyak waktu luang karena telah memutuskan untuk resign dari kantor, dan nyokap sudah mempersiapkan kegiatan pengajian sederhana di rumah yang akan dihadiri oleh ibu-ibu pengajian hobi selfie sekitar sini. Pemberitahuannya pun enggak pake poster bertajuk “HADIRILAH! 4 BULANAN GEBY!” dengan gambar Geby berkacamata hitam sambil memamerkan perut besarnya. Cukup dengan permberitahuan di sela pengajian mingguan.

Semoga doa tulus yang dipanjatkan bisa menjadi bekal bagi si calon bayi dan ibunya untuk terus sehat dan kuat hingga saatnya nanti.

Watermark II


The One With The Giant Heart

Aku enggak perlu mengerti kenapa akhirnya kamu memilih apa yang telah kamu pilih. Apa adanya kamu sekarang adalah hasil dari pertimbangan kamu sendiri. Itu yang enggak akan pernah aku campuri.

Aku mau kamu selalu bebas menentukan apapun yang ingin kamu lakukan, lepas dari tekanan. Kenyataan bahwa sekarang kita punya ikatan, enggak perlu sejauh itu kamu pertimbangkan. Karena yang terpenting kamu bahagia dengan semua yang udah kamu punya. Itu intinya. Dan sejak awal kita ketemu, itu yang aku mau.

Enggak akan ada yang percuma. Aku selalu percaya semua orang yang datang dalam kehidupanku punya caranya sendiri untuk terus mengingatkanku bahwa tiap-tiap dari kalian adalah ujianku untuk membuktikan bahwa pedoman yang sejak dulu aku pegang selalu aku amalkan. Biar itu jadi urusanku dengan Tuhan.

Enggak perlu juga bicara soal karma. Bila memang doaku didengar, aku akan terus mendoakan kamu untuk selalu punya keberanian dan keyakinan untuk terus jadi perempuan yang tahu apa yang dia mau. Yang selalu punya rancangan untuk mencapai semua cita-cita. Aku berharap kamu selalu punya kekuatan untuk terus melangkah hingga pada akhirnya kamu tiba di sana.

Watermark II


The One With An Oath For A Lifetime

Mundur dari TransTV bukan satu-satunya hal benar yang akan terus gua sesalkan dalam beberapa saat ini, karena hidup akhirnya berhasil menyudutkan gua untuk tidak menemukan alasan buat enggak menikah tahun depan. Tahun depan umur gua genap 30, jadi bila memang gua mau menikah, maka ini adalah saatnya.

Kayak bercanda rasanya berangkat ke Surabaya menumpang KA Kertajaya dan menempuh perjalanan hampir 12 jam di kereta. Bahkan setelah niat itu gua utarakan ke Bapak dan mereka menerimanya, gua masih sempet berpikir gimana jadinya kalo gua akhiri perbincangan pagi itu dengan pernyataan, “Pak, Lek Sri, terima kasih atas jamuan Nasi Rawonnya… Tapi tolong jangan dimasukin ke hati omongan yang tadi. Saya cuma bercanda…”

Mungkin polisi akan menemukan gua hampir mati karena dilindas ban motor secara sukarela oleh warga gang Lebak Jaya III, Kenjeran.

Lamaran secara lisan seolah jadi gerbang buat Gua dan Gaby untuk memasuki fase baru dalam kehidupan. Fase banyak pikiran. Dua minggu belakangan, setiap kali ketemu, bahasan soal dimana dan bagaimana acara resepsinya selalu ada di meja. Bukan apa-apa… Kami berdua telah sepakat untuk tidak mengadakan acara resepsi terlalu besar. Gua pribadi cuma mau mengundang beberapa saudara dan teman dekat. Temen-temen yang lain ngelove foto di Path aja udah cukup rasanya. Bahkan kalo bisa, gua mau rundown hari itu cuma bangun pagi, mandi, ganti baju, make up, lalu ijab-kabul. Udah. Kalian pulang, gua bisa lanjut tidur lagi. Tapi kali ini bisa sambil ngangkangin anak orang enggak pake takut digerebek warga atau aparat gabungan. Gurih.

Meski biaya resepsi selalu jadi tantangan yang utama, gua punya alasan kedua yang membulatkan niat untuk enggak menyelenggarakan acara yang enggak pernah hemat biaya. Gua enggak rela hari pernikahan gua jadi ajang foto bareng pasangan baru jadian yang mau nunjukin ke temen-temennya betapa serasinya mereka ketika pake batik seragaman. Atau betapa gagahnya cocok-cowok kost-an ketika untuk sementara meninggalkan sweater kucel jadi jas necis ala agen rahasia Kingsman.

Buat gua, intinya cuma Ijab-kabul. Prosesi setelahnya hanya sekedar pilihan yang sebenarnya bisa selalu ditinggalkan mengingat setelah ini masih ada cicilan rumah, mobil, mobil, mobil, (gua mau punya tiga, jadi nulis kaya gitu emang sengaja), motor, action camera, XBOX, iPhone 6+, dan pos-pos biaya lain yang jumlahnya akan terus mengalami peningkatan.

Yang paling gua syukuri adalah semua rencana ini enggak mendapatkan halangan berarti dari kedua belah pihak. Baik Apeh-Mama atau Bapak dan Lek Sri, semua sepakat dengan rencana yang kami buat. Enggak ada drama gebrak meja sambil ngotot bahwa pernikahan ini harus dibesar-besarkan layaknya perayaan pernikahan keluarga kerajaan. Bahkan yang mengejutkan, mereka mau ini segera dilaksanakan. Dengan tipe-tipe menantu kaya gini, sulit rasanya menentukan siapa yang diam-diam takut kehilangan.

Dan logika gua lagi-lagi bilang, dengan semua kemudahan, sambil bercanda pun harusnya ini bisa kami lakukan.

Watermark II


The One Who Came To Dance II

challengeyou

Entah suratan atau emang kebetulan, kutipan di atas bisa jadi adalah alasan untuk akhirnya membulatkan tekad untuk resign.

Tanpa mengecilkan kenyataan bahwa di atas jabatan gua sekarang masih banyak banget ruang yang bisa gua isi dengan segenap kerja keras sebagai pembuktian, bayangan masa depan akan terus berada dalam industri yang satu ini enggak lagi menggoda untuk terus gua jalani.

Jadi Produser itu cita-cita wajib tiap Production Assistant. Bahkan rasanya, semua Production Assistant sudah seharusnya memposisikan diri sebagai Produser dalam masing-masing programnya. Meski pada tiap keputusan akhir, selalu si Produsernya lah yang punya kewenangan, tapi kebiasaan memantaskan diri untuk sesuatu yang lebih besar adalah salah satu jalan pintas untuk jadi lebih pintar. Kalo udah pinter mah, jangankan jadi Produser, jadi pengusaha juga bisa… *Jadi ini anak mau jadi Produser atau Pengusaha, Pak?*

Kenapa?”, adalah tahapan pertama yang perlu lo jelaskan berulangkali ketika berita kaya begini udah menyebar ke seantero departemen produksi.

“Enggak ada apa-apa”, adalah jawab klise yang pertama keluar dari mulut lo. Enggak mungkin juga kan lo langsung terbuka pada tiap-tiap mereka yang bertanya. Kan belum tentu kita akrab sama mereka.

“Terus?”, adalah respon yang masih punya hubungan dengan pertanyaan pertama tanpa memperdulikan pernyataan di poin kedua.

“Udah dapet kerjaan baru.”, adalah jawaban pamungkas yang lo harapkan bisa memuaskan penasaran si lawan bicara. Berharap Ia lekas pergi dan membiarkan lo sendiri, menikmati segelas kopi plastik di balkon departemen produksi sambil memandangi kemacetan di jalan tendean yang enggak selesai-selesai sejak pagi.

“Yakin lo mau ninggalin TransTV?”.

Dari semua kemungkinan pertanyaan yang gua rangkai dalam angan, jujur gua enggak kepikiran sama sekali dengan pertanyaan yang satu ini. Dalam bayangan gua, orang pasti selalu ingin tau apa kerjaan baru gua, dimana kantornya, hingga ke pertanyaan utama, naik gaji apa enggak. Sama sekali enggak kebayang bakalan ada yang tanya, apa gua siap meninggalkan TransTV untuk sebuah perusahaan yang enggak punya gurita bisnis di Indonesia.

Gua enggak tutup mata. Dibandingin sama TransTV dan CT Groupnya. Perusahaan ini sama sekali bukan apa-apa. Ibaratnya, Pak CT ngerogoh receh di kantong celana sebelah kanannya aja udah cukup buat ngebeli satu perusahaan.

Tapi bukankah resiko yang bikin kita selalu waspada?

Tahun depan gua resmi berkepala tiga, dalam kiasan. Ini perlu gua tekankan karena kalo dibawa kedalam arti yang sebenarnya, kepala gua nambah satu lagi dong. Atas, bawah, terus dimana lagi? Kalo yang bawah jadi bercabang sih mending, gua bisa sombong sekaligus berdoa agar kepala empat lekas datang.

Gua pengen jadi sesuatu di umur tiga puluh. Tenggelam dalam kenyamanan yang gua dapat sekarang bukan sesuatu yang bisa bikin gua pantas untuk sesuatu yang lebih besar di masa yang akan datang. Ketika yang lain berdiri rapi dalam antrian untuk dapat giliran buat naik jabatan, gua memilih untuk keluar barisan lalu berlari keluar istana dan masuk ke dalam hutan. Toh, kemungkinannya sederhana… Antara pulang dengan senyum penuh kemenangan sambil membawa bangkai Menjangan atau terjebak di dalam hutan karena dikawinin Tarzan.

Watermark II


The One Who Will Be Damned For All The Time

Gua belum cukup gila untuk lupa bahwa dalam budaya kita, asas kekeluargaan berada di atas segalanya. Tapi ketika istilah “Keluarga” dijadikan alasan untuk berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka bukan itu jalan keluarnya.

Oke, datang ke rumah lo jelang tengah malam ketika kalian sekeluarga ingin beristirahat memang tidak sopan. Mengumbar raut muka penuh kebencian ketika gua masuk ke ruang tamu dan berdiri di depan kalian berdua pun enggak akan pernah bisa dibenarkan. Gua diam ketika kalian berteriak kesetanan, membela masing-masing pasangan, adalah karena akhirnya gua sadar bahwa apa yang gua lakukan sudah benar. Bahwa lelaki ini sudah gila. Perempuan ini sedang menuju ke arah sana. Sehingga kalian tak akan pernah bisa menterjemahkan tiap-tiap perbuatan yang diterima oleh norma kesopanan.

Satu-satunya alasan gua enggak nekad melempar kepalan tangan yang sejak di mobil gua persiapkan untuk rahang lo adalah karena gua enggak mau tangan gua kotor sendiri. Lagipula, udah banyak contohnya di tv. Penjahat peling besar adalah yang paling pintar. Mereka selalu punya orang lain untuk melakukan semua pekerjaan kotornya.

Bukan, gua enggak punya niat menyewa tukang pukul jalanan. Dalam kamus besar hidup gua, berantem bukan melulu soal pukul-pukulan. Ada banyak hal yang jauh lebih sakit dari sekedar luka menganga yang bisa sembuh dalam sebulan. Dan dengan senang hati satu persatu akan gua ambil dari lo per-tadi malam.

Balas dendam memang bukan langkah elegan untuk menyelesaikan masalah apapun. Gua sadar itu.

Gua enggak tumbuh besar di lingkungan preman. Buat gua, selama lo masih bisa berbesar hati dan mengaku salah, akan selalu gua maafkan. Mungkin butuh waktu, tapi pasti akan termaafkan. Meski bukan muslim yang taat, gua selalu ingat bahwa memendam luka bukan sifat yang disukai Tuhan. Tapi karena bagian mengalah dan mengaku salah udah kalian lewatkan, gua siap menerima resiko memikul dosa lebih berat demi membenci kalian, Bajingan.

Watermark II